Thursday, March 09, 2006

untuk orang-orang bermoral

Menurutku, opini berikut ini (Kompas, 9 Maret 2006) sangat bagus dan relevan. Sayangnya, opini semacam ini tidak akan didengar oleh orang-orang bermoral dan agamis di gedung DPR sana. Telinga mereka terlalu penuh mendengarkan doa-doa dan dogma untuk surga mereka nanti.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Apakah Kita Pasti Lebih Bermoral?

Kristi Poerwandari

Meski didesak pemerintah federal untuk membatalkan pelaksanaan hukuman cambuk, gubernur Negara Bagian Zamfara (Nigeria) tetap menghukum 180 kali cambuk terhadap Bariya Ibrahim Magazu, gadis remaja 17 tahun, karena melakukan hubungan seks di luar nikah.

Meski Bariya menjelaskan ia diperkosa tiga lelaki di desanya, pengadilan tetap menjatuhkan vonis. Berita (Kompas, 4/1/2001) itu memberi ilustrasi, atas nama moralitas, manusia dapat melakukan kekejaman dan tindakan tak bermoral terhadap manusia lain.

Kini, kita pembaca Kompas, berpendidikan, lelaki-perempuan, sebagian besar memiliki pekerjaan mapan, ibu rumah tangga yang hidup lurus dan biasa-biasa disuguhi berita-berita pro- kontra RUU Antipornografi dan Pornoaksi (APP), menyusul perda Kota Tangerang (No 8/2005) yang melarang pelacuran.

Saat membaca pro-kontra RUU APP dan perda Tangerang, mungkin kita berpikir, cara berpakaian orang harus diatur, sikap di muka umum harus diatur, karena tampilan orang-orang (perempuan) tertentu sudah keterlaluan. Berbaju minim, mempertontonkan bagian-bagian tubuh yang sensual, berpelukan di jalan. Kita berpikir diperlukan hukum guna menciptakan ketenteraman bermasyarakat dan mengurangi dekadensi moral. Caranya, mengatur orang-orang tidak bermoral itu (bukan kita).

Mengingat kita hidup baik-baik, jarang keluar malam, tidak tinggal di daerah kumuh atau lampu merah, bila keluar malam bisa berlindung dalam mobil yang nyaman dan tidak membuat orang curiga, kita menganggap aturan itu tidak ada relevansinya, sama sekali tidak akan merugikan kita.

Rupanya hidup kita lebih beruntung dibandingkan dengan banyak perempuan lain. Mungkin tak pernah terpikir perempuan harus banting tulang karena suami tidak (cukup) menafkahi, harus pulang malam karena bekerja, tak mampu membeli mobil, tak kuat membayar ongkos taksi, sehingga harus menunggu mikrolet di pinggir jalan.

Dalam dunia malam memang ada perempuan atau waria yang mencari uang dengan menjajakan tubuhnya. Ada banyak alasan psikologis, sosial, dan ekonomis yang menyebabkan orang masuk dunia pelacuran.

Pertanyaannya, pantaskah kita mengejar-ngejar mereka, menghukum dengan mempertontonkan dan mempermalukan dalam sidang terbuka, menertawakan, mengolok-olok, yang berarti menempatkan mereka sebagai makhluk hina? Ini belum bicara kemungkinan salah tangkap. Bagaimana bila karena suatu alasan kita menjadi korbannya?

Masyarakat terbelah

Beberapa tahun terakhir ini, masyarakat Indonesia terbelah dua: kelompok yang merasa lebih bermoral dan kelompok yang mengutamakan kebebasan individu. Bila dikotomi ini tidak ditanggulangi, dapat melahirkan perpecahan dan aneka masalah sosial lanjutan yang mengerikan.

Kelompok masyarakat yang merasa lebih bermoral memaksakan moralitasnya kepada masyarakat yang heterogen dan kompleks. Definisi yang digunakan sering naif, sempit, dan salah arah dalam memahami moralitas. Moralitas dipahami hanya pengaturan perilaku seksual, tuntutan bagi perempuan untuk membatasi diri, melayani, patuh, mampu membuktikan diri bersih.

Salah arah, mengingat moralitas tidak mungkin ditanggulangi dengan memberlakukan hukum formal, apalagi yang didefinisikan secara sempit dan bias. Salah arah, karena moralitas seperti ini mudah terpeleset menjadi mempersalahkan dan mengambinghitamkan korban. Bagaimana bisa membuktikan kita adalah korban pemerkosaan dalam masyarakat yang amat bias patriarkis? Salah arah, karena seksualitas manusia menjadi satu dari banyak hal terkait moralitas. Kekerasan, penyelewengan kekuasaan, kebohongan politik, korupsi, kolusi, nepotisme, ketidakmampuan mendengar jeritan orang kecil, semua itu adalah masalah moralitas. Salah arah, karena moralitas hanya dapat dibangun kembali melalui sarana-sarana yang melampaui hukum formal, dengan mengembangkan kepedulian, keterbukaan, penghormatan pada martabat manusia, dan nurani.

Mereka yang mengutamakan kebebasan individu juga bingung, bagaimana menyampaikan fakta untuk dapat dipahami para penyusun dan pelaksana peraturan betapa moralitas merupakan masalah yang kompleks. Dan yang perlu diatur serta dikenai sanksi bukan para pelaku, tetapi otak-otak dan sistem yang ada di balik jaringan dan organisasi yang menciptakan pornografi dan memperdagangkan perempuan dan anak. Kelompok ini dapat dituduh ditunggangi kapitalis dan penguasa pasar.

Disalahpahami

Mungkin ini disalahpahami masyarakat awam sebagai menyetujui pornografi. Padahal, banyak di antaranya justru melakukan pendampingan pada anak dan perempuan korban pornografi, perdagangan manusia, dan bentuk-bentuk kekerasan lain.

Memang fenomena sosial selalu amat kompleks, sulit dijabarkan dalam bahasa sederhana. Menjadi tantangan bagi kelompok ini untuk menyampaikan gagasan secara jelas dan sederhana sehingga dapat memperoleh dukungan sebanyak mungkin anggota masyarakat. Juga untuk dapat diterima dan dipahami pihak-pihak yang naif, moralistik dan legalistik, yang sedang di tampuk kekuasaan.

Mengerikan bila masyarakat Indonesia yang mengaku agamis melakukan pembenahan moral melalui pengambinghitaman, melekatkan stigma-stigma baru pada kelompok rentan, dan berperan seolah-olah menjadi Tuhan. Apakah kita benar-benar lebih bermoral dari mereka?

Kristi Poerwandari Ketua Program Kajian Wanita, Program Pascasarjana UI

No comments: