Monday, September 10, 2007

Kelembagaan

Artikel Faisal Basri hari ini yang berjudul "Penguatan Kelembagaan Tercecer", menarik perhatianku dalam dua cara.

Pertama, aku merasakan sentimentil karena dia menyebut Norwegia sebagai salah satu contoh negara kesejahteraan (welfare state) yang memiliki kerangka kelembagaan (institutional framework) yang baik. Karena aku pernah mengecap kehidupan di negeri tersebut tersebut, aku sangat setuju tentang betapa baik kelembagaan di Norwegia. Tata kehidupannya pun relatif ideal, dimana dari sudut pandangku sendiri, masyarakat Norwegia memiliki prinsip hidup yang jelas antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat. Mereka bisa memisahkan dengan baik, mana yang berkaitan dengan urusan pribadi dan mana yang merupakan kemashalatan rakyat. Disiplin dan kejujuran jadi hal yang penting untuk dijadikan tingkah laku, bukan sekedar jargon pun ayat-ayat suci semata. Korupsi merupakan aib yang dianggap melanggar etika bangsa. Itu hanyalah sebagian kecil "sukses" Norwegia yang membuatku selalu terpukau dan kadang mendatangkan kerinduan yang sentimentil tadi.

Kedua, Faisal Basri berargumen tentang pentingnya menguatkan kelembagaan seperti dicontohkan oleh Norwegia dan negara-negara kesejahteraan lain: Swiss, Denmark, Swedia, dan Amerika Serikat. Namun, seperti juga ditulis oleh Aco (baca di sini), menjadi negara kesejahteraan dan kemudian memiliki kelembagaan yang kuat sangatlah tergantung pada pertanyaan bagaimana membiayai semua itu. Aku setuju dengan Aco bahwa menjadi negara kesejahteraan memiliki implikasi pajak, yang mana mereka pasti menerapkan dan mengenakan tarif pajak yang sangat tinggi bagi warganya. Untuk contoh di Norwegia, aku sudah mengalami sendiri bagaimana harus menyerahkan hampir separuh "honor" mengajar sebagai asisten dosen yang tidaklah seberapa sebagai pajak. Meski kemudian aku memperoleh 'pengembalian' (tax return), namun hal tersebut membuktikan bahwa pajak menjadi sangat vital bagi negara kesejahteraan.

Sayangnya, jika pajak ini dijadikan "sumber" pembiayaan bagi Indonesia saat ini, yang menjadi kekhawatiran adalah seberapa banyak rakyat bisa diperah untuk diambil pajaknya? Dan, yang ini lebih penting, apakah negara sudah memiliki etika dan sistem yang nyata untuk "mempertanggungjawabkan" semua penerimaan (baca: pajak yang dibayar masyarakat) bagi negara untuk "kesejahteraan"? Untuk hal ini, aku sangatlah skeptis dan pesimis. "It's hard habit to break", kata Chicago.

Menyambung tentang pajak dan kelembagaan tersebut, yang patut digarisbawahi adalah peran kelembagaan keuangan negara menjadi sangat utama dalam kaitannya dengan kelembagaan tersebut. Aku pernah bercerita tentang bagaimana "menarik"-nya cara Norwegia melakukan klaim pajak di sini. Maksudku adalah pemikiran yang sistematis dan komprehensif dalam menguatkan kelembagaan perlu dilakukan dengan memperhatikan situasi, kondisi dan pengetahuan masyarakat Indonesia. Sayangnya, Faisal Basri masih membahas secara umum kelembagaan di Indonesia. Padahal pertanyaan besar dalam hal kelembagaan di Indonesia adalah kelembagaan yang mana yang harus dikuatkan, bagaimana dan siapa yang bisa? Ini menjadi sulit untuk dirumuskan, bukan?

Norwegia dan negara-negara kesejahteraan lain menghadapi kemudahan dalam mengelola "kesejahteraan" negaranya karena beberapa hal: jumlah penduduk yang relatif kecil, luas negara yang tidak terlalu besar, tingkat keragaman masyarakat yang relatif homogen, dan faktor sejarah yang panjang dengan tingkat pembelajaran yang sudah optimal. Sedangkan Indonesia, faktanya memiliki penduduk yang besar dan beragam dan tingkat pendidikan yang masih relatif rendah. Semua itu mengakibatkan, tidak serta merta Indonesia bisa mengadopsi kerangka kelembagaan negara lain. Melainkan, Indonesia harus mencari dan mengembangkan kerangka kelembagaan yang sesuai dengan karakteristik tersebut. Semua hal tersebut membutuhkan pemikiran yang menyeluruh, bukan sekedar merancang proyek atau program pembangunan lima tahunan!

Targetnya saat ini bukanlah menjadi negara kesejahteraan dengan ciri dan definisi yang sama persis seperti The Scandinavian. Mereka bisa kita jadikan rujukan. Targetnya saat ini adalah untuk menjadi lebih baik dan berubah ke arah yang semakin ideal bagi cita-cita kesejahteraan. Ideal di sini berarti semua orang merasakan perubahan tersebut dan merasakan kondisinya lebih baik.

No comments: