Thursday, January 17, 2008

Penyebab Backward Travelling Wave: Contoh Kasus Kota Depok

Di harian Media Indonesia pagi ini (Kamis, 17 Januari 2008, hal.4), ada satu artikel di rublik Layanan Publik tentang fenomena kemacetan di Depok. Berita lengkapnya berjudul 'Zebra Cross' pun tidak Bertambah di Depok (Maaf, link beritanya membutuhkan subscription). Aku tertarik dengan artikel tersebut karena memberikan bukti empiris atas penyebab Backward Travelling Wave seperti yang aku tulis sebelumnya.

Di artikel tersebut Subandi, seorang warga Perum Depok Mulya III mengeluh tentang dampak banyaknya penyeberang jalan sebagai berikut,
"Dua orang melintas, lalu di depan menyebrang lagi lima orang, tidak jauh dari sana, ada lagi rombongan orang menyebrang. Engak heran kalau di dua kawasan itu (Pintu selamat datang Kota Depok dan depan Kampus Universitas Guna Darma, red.) selalu macet"
Tidakkah keluhan Subandi tersebut sama persis seperti penyebab No.1 dari Backward Travelling Wave? Keluhan Subandi tersebut masih bisa ditambah lagi jika kita melanjutkan perjalanan melewati Margo City - Depok Town Square kemudian melalui persimpangan Jl. Margonda Raya - Jl. Juanda yang tidak hanya dipadati oleh penyeberang jalan tetapi juga tempat pemutaran balik atau U-turn dan lampu lalulintas (di persimpangan Margonda - Juanda). Belum lagi banyaknya angkot yang mangkal atau berhenti secara tiba-tiba di sisi kiri jalan.

Di artikel tersebut juga diusulkan agar jumlah jalan penyeberangan orang (JPO) atau zebra cross ditambah. Bahkan Kepala Satuan Lalu Lintas Polres Metro Depok Komisaris Harry Sulistiadi mengatakan,
"Di kawasan pusat perbelanjaan, tidak cukup hanya membuat zebra cross, tapi membangun jembatan penyeberangan orang"
Anda semua pasti secara aklamasi setuju jika ada jembatan penyeberangan di jalan Margonda Raya, khususnya di depan Margo City - Depok Town Square. Namun, jembatan penyeberangan bisa jadi tidak memecahkan masalah secara efektif. Ada satu alasan yang diantara para pengguna jalan sangat jarang dikemukakan, yaitu: sangatlah 'sulit' (baca: MALAS!) untuk mendaki tangga jembatan penyeberangan. Dengan kata lain, jembatan penyeberangan sangatlah tidak nyaman untuk banyak penyeberang. Argumen lain mengapa jembatan penyeberangan tidak efektif adalah waktu untuk menyeberang jalan menjadi relatif lama. Selain itu juga, jembatan sangat mahal untuk dibangun serta memerlukan perawatan dan pemeliharaan yang lebih rumit.

Sesungguhnya, menambah jumlah zebra cross relatif lebih efektif dibanding jembatan penyeberangan. Selain menambah jumlah, ukuran zebra cross tersebut juga perlu diperbesar agar bisa menampung jumlah penyeberang yang lebih banyak. Dan yang terakhir, yang bisa menambah efektifitas dan waktu penyeberangan, di beberapa zebra cross harus menggunakan lampu lalu lintas otomatis untuk para penyeberang. Contoh yang patut ditiru adalah sepanjang jalan H.R. Rasuna Said - Kuningan yang menerapkan sistem zebra cross dengan lampu lalu lintas.

Pak Walikota perlu melakukan kajian yang mendetil tentang kebutuhan akan jumlah dan ukuran zebra cross beserta kelengkapan rambu-rambu dan lampu lalu lintasnya. Dan, yang paling sulit, adalah mendidik dan men-sosialisasikan kepada masyarakat bahwa menyeberang jalan 'harus' di zebra cross.

No comments: