Tuesday, February 08, 2011

déjà vu tentang kebiadaban

Kejadian pembunuhan terhadap warga Ahmadiyah yang saja terjadi, membuat saya ingin membaca sebuah 'kicauan' (tweet) di akun Twitter saya per tanggal 31 Agustus 2010 lalu. Isinya sebagai berikut:
Ide "pembubaran" satu ajaran/agama, slalu mgingatkan saya dgn "pelarangan PKI" yg berujung pd diskriminasi hingga genocide. Resiko yg mahal!
Ketika saya berkicau seperti itu, saya hanya ingin merespon pernyataan Menteri Agama yang percaya bahwa "pembubaran" Ahmadiyah hanya akan memberikan resiko yang kecil. Menurut pendapat saya, tidak akan ada resiko yang kecil atas suatu tindakan pelarangan terhadap organisasi apalagi sebuah ajaran 'agama'.

Seharusnya masih segar diingatan kita bagaimana dampak yang timbul ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) dinyatakan terlarang di bumi Indonesia. Baiklah, mungkin PKI tidak bisa disamakan dengan Ahmadiyah atau ajaran 'agama'. Tapi, jika saya ingin menyamakan semangat pelarangan PKI dengan pembubaran Ahmadiyah, maka salah satu alasan pelarangan PKI adalah karena menyebarkan ajaran atau paham komunisme. Tidak ada perbedaan mendasar dengan pembubaran Ahmadiyah yang diyakini menyebarkan ajaran sesat. Itulah sebabnya, kita tetap bisa menggunakan pelarangan PKI sebagai referensi sejarah atas resiko pembubaran Ahmadiyah.

Kembali ke 'kicauan' saya di atas, seketika saya mengalami déjà vu ketika menyaksikan tayangan di YouTube berikut ini yang seolah membuktikan betapa tidak kecilnya resiko jika ingin membubarkan atau melarang sebuah organisasi atau ajaran 'agama'. Setelah menyaksikan tayangan tersebut, kita seolah diberikan sebuah episode kecil dari kutipan sejarah kelam yang pernah terjadi ketika PKI dibubarkan dan dinyatakan "terlarang". Perihal Ahmadiyah, memang belum dilakukan pelarangan pun pembubaran secara nasional namun SKB 3 Menteri yang diterbitkan pemerintah seolah memberikan pengesahan untuk melakukan pembubaran dan pelarangan oleh masyarakat. Padahal, tanpa SKB 3 Menteri pun mereka sudah mengalami pengusiran, dirusak tempat tinggal dan tempat ibadahnya, serta didiskriminasi; yang belum terjadi hanya genosida saja. Tapi tayangan tersebut memberikan semacam 'pemanasan' untuk semangat genosida tersebut.

Saat ini saya merasa menyesal telah membuat 'kicauan' tersebut karena ternyata itu sudah dimulai saat ini. Saya tidak ingin menggugat soal keyakinan siapapun, namun saya percaya seharusnya ada solusi yang lebih bijak, damai dan tidak perlu mengulang sejarah kelam. Tidak perlu ada pembunuhan atau pembantaian. Tapi, sekarang keduanya sudah dimulai. Bilakah para pemimpin negara, agama dan masyarakat bisa mencegah ini untuk terjadi lagi?

Mudah-mudahan kita bisa belajar dari sejarah, meskipun sedikit...

No comments: